Adakah Kesalahan Pemerintah Dalam Membeli Saham Freeport

Pengacara Faisal M Yusuf Nasution Associates dan Partners > Hukum  > Adakah Kesalahan Pemerintah Dalam Membeli Saham Freeport

Adakah Kesalahan Pemerintah Dalam Membeli Saham Freeport

Freeport Indonesia telah bersedia melepaskan kepemilikan saham nya sebesar 51% kepada pemerintah Indonesia, ini di anggap oleh Rezim berkuasa saat ini sebagai keberhasilan pemerintah,Menurut Ferdinan Hutahayan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia jika di kalkulasikan perkiraan nilai saham untuk 51 Persen itu adalah 8 milyar Dollar atau jika di Rupiahkan Sebesar 100 Trilyun Rupiah, dana yang sangat besar ini di buang percuma oleh pemerintah.

Sementara Untuk menyelesaikan Proyek LRT saja yang butuh dana Rp. 5 Trilyun pemerintah kelihatan terseok – seok ujar Ferdinan, di lain pihak  Jaringan Advokasi Tambang ( JATAM ) mengatakan semua Divestasi pemerintah menemui kegagalan dan hanya menguntungkan oligarki serta Mafia pertambangan belaka Hal ini terjadi pada divestasi saham pertambangan PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur dan PT Newmont Nusa Tenggara yang saat ini telah berubah nama menjadi AMMAN di Nusa Tenggara Barat.

“Dalam kasus korupsi divestasi saham KPC, pemerintah nasional dan daerah telah kehilangan kesempatan mendapatkan saham divestasi dan kerugian negara mencapai Rp576 miliar,” ujar aktivis JATAM Melky Nahar melalui Cnn Indonesia Jummat (13/7). Hal serupa juga terjadi dalam kasus PT AMMAN yang membuat pemegang kontrak karya generasi keempat yang menambang konsentrat tembaga, emas, dan perak diduga terlilit korupsi karena kegagalan divestasi saham.

Melky mengatakan kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa divestasi saham ini tak lebih dari arena bancakan para elit yang menguntungkan pihak swasta.

“Sementara dalam kasus Freeport semakin jelas menunjukkan bahwa sebuah kebijakan negara dengan mudah bisa dinegosiasikan oleh korporasi,” katanya.

Di sisi lain, dari aspek lingkungan hidup JATAM telah mencatat sejumlah pelanggaran lingkungan hidup. Salah satunya, kata Melky, terdapat 22 kegiatan dan operasi Freeport yang melanggar Analisis Mengenai Dampak dan Lingkungan (Amdal).

“Beberapa temuan itu misalnya perluasan ukuran tambang terbuka grasberg dari 410 hektar menjadi 584 hektar yang tidak dicantumkan dalam Amdal,” ucap Melky.

Selain itu, lanjutnya, terdapat lima sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah beracun oleh Freeport yakni sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe. Bahkan sungai Ajkwa di Mimika telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing sejak tahun 1998 hingga 2016.

Lebih lanjut Melky menuturkan, dari hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan bahwa Freeport memiliki masalah dalam penggunaan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) selama operasi produksi. Akibatnya timbul kerugian negara hingga Rp185 triliun.

Karena itu, dengan akal sehat, mempertahankan operasi Freeport adalah kesalahan. Pemerintah harus mengambil langkah menutup, bukan mengeluarkan IUPK baru atau melakukan divestasi yang hanya merupakan proses back to business saja, yang terjadi hanyalah aktivitas bisnis jual beli saham, sekedar perubahan komposisi dan konsolidasi aktor baru belaka. Sudah saatnya Pemerintah menghentikan dan menutup operasi pertambangan Freeport di Papua, karena selain tak pernah menguntungkan apalagi menyejahterakan, pemberian Kontrak Karya kala itu dilakukan tanpa persetujuan rakyat Papua yang sejak 1967 telah diperjualbelikan secara sepihak dan sewenang-wenang dengan Freeport.

Harus ada proses penegakan hukum atas pelanggaran undang-undang dan pelanggaran HAM yang selama ini telah dilakukan, Freeport pun harus dituntut melakukan pemulihan atas kerusakan alam yang ditimbulkan selama 51 tahun beroperasi di Papua.

 

(Cnn Indonesia,Jawapost)

 

2 Comments

Leave a Comment

Call Now