Asal Usul Pasal Penodaan Agama

Asal Usul Pasal Penodaan Agama

Belakangan ini banyak terjadi kasus penistaan agama, terutama di dunia maya, yang paling sering menjadi korban adalah Umat Islam, sementara umat islam tidak ada yang menodai dan menistakan agama selain Islam, seperti menghina Tuhan dan Kepercayaan Orang lain, membakar atau menginjak Kitab Suci Agama lain karena dalam Ajaran Agama Islam melarang hal demikian. Sebenarnya Kalau mau di lihat sejarah nya bahwa UU Penodaan Agama ini adalah bentuk kepedulian Negara untuk melindungi Kaum Minoritas di Indonesia.

Pemerintah Khawatir bahwa Agama mayoritas akan menindas minoritas, namun belakangan ini bukan Mayoritas yang menghina Minoritas tapi malah sebalik nya, hal ini di pertegas lagi oleh beberapa pandangan Tokoh islam tentang Pasal Penodaan Agama tersebut, namun oleh beberapa kalangan Liberal hal ini di putar balik kan, mereka mengatakan bahwa pasal penodaan agama untuk melindungi agama Islam, Logika itu tidak masuk karena Agama Islam adalah Mayoritas di Negara ini jadi tidak perlu ada pasal – pasal yang melindungi nya, karena persatuan umat islam juga erat sampai sekarang ini.

Yang terjadi dalam kasus pembakaran rumah ibadah Vihara di Kota Tanjungbalai di katakan Umat islam membakar rumah Ibadah orang lain, kita biasa nya suka menghakimi yang tampak saja, sementara akar dari permasalahan ini kita tidak ambil peduli, kasus ini bermula dari penodaan agama yang di lakukan oleh Meliyana, warga Tanjungbalai yang memperotes Suara Adzan, itulah akar permasalahan nya, seandai nya saja kita saling menghormati perbedaan dan ajaran agama masing – masing maka tidak akan pernah ada terjadi hal – hal demikian.

Bagi umat islam menggambar Tuhan dan Nabi Muhammad adalah hal yang di larang oleh agama islam bahkan sekarang ini banyak terjadi orang yang menghina Allah dengan melukis nya, menghina nabi muhammad dengan melukis nya, dan membuat Meme yang tidak sopan, itu sangat menyakit kan hati umat islam, beda dengan agama lain, tuhan nya boleh di gambar, boleh di lukis kan atau di buat patung, tapi bagi agama islam itu dilarang, hendak nya kita menghargai keyakinan umat Islam tersebut.

Lebih mengenaskan lagi, suara-suara tudingan lebih kencang diarahkan pada UU Penodaan Agama (Penpres tahun 1965) yang dimasukkan ke dalam KUHP, Pasal 156a. Pasal ini dianggap pasal yang bermasalah oleh sebagian pihak. Mereka menganggap UU ini melanggar kebebasan beragama

Pasca kasus penistaan Agama oleh Ahok, UU ini semakin kencang diteriakkan pihak tertentu agar dihapuskan. Jika kita menelusuri kembali sejarah UU Penodaan Agama ini, maka kita akan memahami betapa mendesaknya UU ini. Presiden Soekarno menetapkan UU ini melalui Penetapan Presiden (Penpres) no.1 pada 27 Januari tahun 1965

Kita dapat menyimpulkan bahwa UU tersebut dibuat justru untuk melindungi kesucian ajaran agama dan para penganutnya. Konflik horizontal justru akan pecah jika ajaran agama tak dilindungi dari penistaan atau penodaan. UU tersebut melindungi baik agama dengan penganut mayoritas ataupun agama dengan penganut minoritas.

Kita masih mengingat, tahun 2008 silam, umat Katolik dibuat marah dengan munculnya sampul Majalah Tempo yang memvisualisasikan Keluarga Soeharto dengan visual ‘Penjamuan Terakhir Yesus’ yang dianggp sakral oleh umat Katolik. Peristiwa tersebut berakhir dengan permintaan maaf Tempo

Tahun 2009, umat Budha memprotes pemakaian nama Budha Bar sebagai tempat hiburan di Jakarta. Wajar mereka marah dengan penamaan tersebut. Figur Budha yang mereka sucikan malah direndahkan menjadi sekedar tempat hiburan komersil. Beberapa peristiwa tadi menandakan pentingnya kehadiran UU Penodaan Agama. Ada potensi kekacauan jika Indonesia tak dipagari dengan UU Penodaan Agama.

Saat ini pihak-pihak berideologi sekular-liberal terus mendesak dihapuskannya UU tersebut. Padahal UU tersebut amat penting untuk menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Jika kita hendak melihat lebih seksama, aturan semacam UU Penodaan agama sebenarnya adalah aturan yang sangat lumrah untuk diberlakukan. Jangankan di Indonesia yang menempatkan ketuhanan sebagai poin pertama dasar negaranya. Di banyak negara sekular dan liberal sebenarnya aturan yang melarang penodaan suatu agama mewarnai kehidupan mereka.

DI LUAR NEGERI

Laporan dari U.S. Commission on International Religious Freedom (USCIRF) tahun 2016 yang bertajuk “Respecting Rights? Measuring The World’s Blasphemy Laws” mendefinisikan kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah hak yang luas, termasuk kebebasan berpikir, berekspresi, berkumpul, dan berserikat, termasuk untuk tidak beragama sesuai hati nurani dan pikiran seseorang.

USCIRF juga melaporkan bahwa dari 192 negara di dunia, 71 diantaranya masih memiliki pasal penodaan agama. Bila diurai berdasarkan pada presentase per regional adalah 25,4 persen dari 71 negara tersebut berada di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara; 25,4 persen di Asia-Pasifik; 22,4 persen di Eropa; 15,5 persen Afrika Sub-Sahara; dan 11,2 persen di Amerika. Semuanya menunjukan kemiripan yang sama-sama mendefinisikan penodaan agama sebagai tindakan menghina atau menunjukkan penghinaan atau kurangnya penghormatan kepada Tuhan.

Denmark dimana salah satu partai disana, yaitu Partai Venstre menolak wacana penghapusan pasal penodaan agama, Pihak kepolisian Denmark pada April 2017 bersikeras menolak dengan alasan bila pasal tersebut dihapus, aksi teror akan meningkat. Beberapa politikus lainnya juga khawatir orang akan bebas menghina agama.

Di Jerman disana penodaan agama diatur dalam Undang-Undang Pencemaran Nama Baik Pasal 166 KUHP. Rata-rata 15 orang di Jerman dihukum terkena pasal penodaan agama ini. Meski tidak secara eksplisit menjabarkan tentang penodaan agama, tapi pasal tersebut masih mampu menjerat siapapun yang dituduh menodai agama. Konferensi Waligereja Jerman justru meminta agar negara tetap mempertahankan pasal tersebut dengan dalih agar ada “keseimbangan yang bijak” antara nilai-nilai konstitusional “seperti kebebasan berekspresi, kebebasan artistik dan pers versus kebebasan agama dan pemikiran.

Namun apakah perlu Indonesia menghapus pasal penodaan agama? Tentu bila merujuk pada realitas yang ada jelas tidak sangat masuk akal penodaan agama itu dihapuskan. Persoalannya adalah jika pasal itu dihapuskan, akan terjadi huru-hara dimana-mana, lebih baik pasal penodaan agama ini tetap ada demi memelihara kerukunan antara umat beragama

No Comments

Leave a Comment

Call Now